Evaluasi Penggunaan Obat Generik di Indonesia

Oleh: Ni Nyoman Indirawati Kusuma, S.Ked

Siang itu, Ibu Wantini bergegas ke apotik sambil membawa resep dokter. Dengan langkah panjang dan cepat, ia sampai di apotik di dekat rumahnya sambil menyodorkan resep dari dokter kepada apoteker. Sambil memperhatikan Ibu Wantini, apoteker itu bertanya, “Ibu, ibu ga pakai obat generik? Ini obat bermerk dan harganya cukup mahal.” Sambil bingung Ibu Wantini menjawab sekenanya, “Obat generic itu yang kayak gimana mba? Memang kalo ditotal brapa mba harga obat di resep itu?” Sang apoteker bergegas mengeluarkan kalkulator dan dalam sekejap kalkulator itu menunjukkan angka yang cukup drastis, “Rp.800.000,-” Lagi-lagi ibu Wantini bingung . Dalam bingungnya, ia berfikir terus untuk menghitung sisa uangnya. Yang jelas ini adalah resep pertama kalinya untuk suaminya yang sedang sakit hipertensi dan DM  (read: darah tinggi dan kencing manis). Sudah beberapa bulan ini suaminya sakit dan akhirnya Ibu Wantini harus mengantarnya ke salah satu praktek dokter di dekat rumahnya. Ibu Wantini tidak mengerti apa itu obat obat generik, sebutan yang asing baginya. Yang dia tahu bahwa dokter pasti tahu yang terbaik untuk suaminya, sehingga ia memutuskan untuk membeli obat sesuai yang diresepkan dokter, tentunya dengan mengeluarkan kocek Rp.800.000,-.

Cerita di atas merupakan salah satu fenomena yang terjadi di Indonesia, terkait penggunaan obat generik pada pelayanan kesehatan kuratif.  Di Indonesia sendiri, kebijakan terkait penggunaan obat generic untuk masyarakat sudah ada sejak tahun 2010, semuanya tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia HK.02.02/MenKes/068/1/2010 tentang kewajiban menggunakan obat generik di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah. Kebijakan lain yang mengatur tentang obat generik adalah Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. HK.03.01/MenKes/159/1/2010 tentang pedoman pembiayaan dan pengawasan penggunaan obat generik di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah dan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. HK.03.01/MenKes/146/1/ 2010 tentang harga obat generik. Dalam kebijakan Permenkes tersebut dijelaskan bahwa dokter (baik dokter umum, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis) yang bertugas di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah wajib menulis resep obat generik bagi semua pasien sesuai indikasi medis. Well, ini adalah salah satu langkah Menteri Kesehatan saat itu untuk merevitalisasi penggunaan obat generik agar tercapai keterjangkauan obat-obatan untuk masyarakat, terutama masyarakat miskin. Walaupun sampai pada tahun 2011, peresepan obat generik baru menembus angka 66% pada rumah sakit umum milik pemerintah  dan masih jauh dari target yakni 80-90% dari total seluruh peresepan.

Kebijakan itu hanya berlaku di pelayanan kesehatan milik pemerintah, seperti RSUD, RSUP, Puskesmas, dan lain-lain. Lalu bagaimana dengan pelayanan kesehatan non-pemerintah seperti Praktek Dokter Pribadi, Klinik Pribadi, dsb? Belum ada regulasi yang secara tegas mewajibkan dokter untuk meresepi obat generik, kebijakan yang ada hanya bersifat menghimbau dan menganjurkan para dokter untuk memprioritaskan obat generik dalam resep obat. Padahal yang kita tau bahwa banyak masyarakat yang ‘lari’ ke praktek dokter ketika mereka sakit, daripada ke puskesmas atau ke rumah sakit lantaran lokasinya yang jauh ataupun alur birokrasinya yang bikin mumet.

Permasalahan ini muncul ke permukaan ketika media massa solo pos tertanggal 14 Mei 2012 mengangkat headline bahwa peresepan obat generik pada pelayanan praktek dokter masih cenderung sedikit. Pada salah satu survey yang dilakukan di salah satu apotik, jumlah resep obat generik hanya 25% dari seluruh total resep, sisanya adalah resep obat bermerk. Bisa dibayangkan, mungkin banyak sekali gunjingan untuk para dokter setelah permasalahan ini muncul ke permukaan. Adanya kecurigaan terkait kolusi yang dilakukan oleh para dokter dan perusahaan farmasi menjadi dugaan awal penyebab masalah. Namun, hal ini bukan menjadi faktor utama. Ada beberapa hal lain yang perlu kita kritisi sebagai penyebab terjadinya permasalahan ini:

1.  Paradigma yang salah!

Selama ini memang terjadi paradigma yang salah di masyarakat. Masyarakat kurang teredukasi terkait keberadaan obat generik, diperparah dengan mindset yang turun-temurun bahwa obat generic kualitasnya masih kalah dari obat bermerk. Padahal, secara komposisi obat generik dan obat bermerk memiliki isi zat kimia dan khasiat yang sama, hanya saja pada beberapa obat bermerk menambahkan beberapa zat-zat kimia lain sebagai upaya mempercepat penyembuhan pasien. Mindset ini yang terkadang menjadi pertimbangan pasien untuk tidak membeli obat generik.  Hal ini bukan berarti obat bermerk itu merugikan ataupun tidak baik, tetapi memang sebaiknya ada indikasi tertentu untuk menggunakan obat bermerk. Tentunya, ini merupakan tugas para apoteker, dokter, dan petugas kesehatan lainnya untuk melakukan edukasi kepada masyarakat terkait obat generik.

2.  Belum adanya jaminan sosial yang bersifat universal coverage.

Menurut saya, ini adalah penyebab utama! Memang, saat ini terdapat beberapa bentuk asuransi dan jaminan kesehatan, seperti askes, jamsostek, pkms, jamkesmas, jamkesda, dan lain-lain. Tetapi asuransi dan jaminan ini hanya mengcover orang-orang tertentu dan obat-obatan tertentu, tak bersifat universal. Tak adanya sistem jaminan kesehatan membuat pasien harus membayar sendiri harga obat dan tidak ada aturan terkait pemilihan obat sebagai terapi penyakitnya. Padahal, obat untuk penyakit tak menular yang kini menjadi pembunuh utama di Indonesia harganya puluhan juta rupiah satu paket.

Bulan Oktober tahun lalu, DPR telah mengesahkan Undang Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sehingga mimpi masyarakat Indonesia untuk mewujudkan sistem jaminan sosial yang universal coverage sebentar lagi akan menjadi kenyataan. Namun, kita tidak bisa hanya menunggu hingga tahun 2014 dimana SJSN ini akan mulai diterapkan, tetapi ada beberapa hal strategis yang dapat dilakukan, antara lain edukasi terkait obat generik kepada masyarakat serta penyusunan rancangan kebijakan sementara terkait aturan mengenai prioritas penggunaan obat generik bagi pelayanan praktek dokter, sehingga tidak ada lagi masyarakat yang rugi dengan resep obat yang mahal. Karena sesungguhnya, kesehatan itu adalah kebutuhan mendasar dan sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk menjamin biaya kesehatan masyarakatnya.